Meski belum tampak, pemakaian euro sebagai mata uang regional Uni Eropa
awal tahun ini tentu mempengaruhi konstelasi perdagangan internasional.
Dengan tampilnya euro, maka poros kekuatan dagang saat ini setidaknya
ada tiga, selain euro sendiri, dolar (AS), dan yen (Jepang). Satu hal
yang agaknya pasti dalam konstelasi zero sum game yang berlangsung saat
ini adalah satu blok utama lain di dunia ini akan tetap ketinggalan
kereta: negara-negara miskin, terutama di Asia dan Afrika. Lebih khusus
lagi, dalam porsi yang cukup besar, negara-negara Islam.
Dalam konteks ini sungguh menarik dicermati berkembangnya gagasan membangun
blok perdagangan Islam. Lain dari upaya kerja sama konvensional di kalangan
negeri-negeri Islam, yang tidak efektif dalam perimbangan perdagangan
internasional, semacam Organisasi Konferensi Islam (OKI), gagasan membangun
blok Islam di awal milenium ini dipelopori oleh jaringan lembaga pemerintah
dan nonpemerintah. Modus operandinya pun menjadi unik, formal dan informal,
legal dan ilegal, kultural sekaligus struktural. Maka, bila gerakan
ini berhasil, pengaruhnya dalam konstelasi perdagangan dunia dapat diprediksi
akan signifikan.
Berkecambahnya gagasan ini sendiri mendapatkan momentum dengan terjadinya
krisis moneter di Asia empat tahun terakhir ini. Sebagaimana kita tahu,
PM Malaysia Mahathir Mohamad mengambil jalan lain dari para pemimpin
di Asia lainnya yang mengandalkan IMF (dan Bank Dunia) dengan resep
liberalnya dalam mengatasi krismon. Tidak berhenti hanya sampai menetapkan
kurs ringgit terhadap dolar AS dan menerapkan kontrol atas modal lainnya,
Mahathir kini bergerak lebih jauh. Ia tampak menoleh pada gagasan membangun
blok Islam, dengan fokus cukup jelas: mengimbangi kekuatan dolar AS.
Di sisi lain, di sepanjang dekade 1990-an kita menyaksikan kelahiran
sebuah gerakan kultural di kalangan warga muslim yang mengupayakan kembalinya
kejayaan (perdagangan) Islam. Salah satu pilar, simbol sekaligus substansi,
yang direalisasikan oleh gerakan nonpemerintah ini adalah mengembalikan
dan menerapkan sistem moneter berdasarkan uang nyata, koin emas dan
perak, dalam bentuk mata uang dinar dan dirham. Saat ini gerakan tersebut
telah sampai pada kenyataan, dengan mulai diterimanya dinar dan dirham
di pasar valuta asing (baca: "Kembalinya Gerincing Dinar", Tempo, 27
Januari 2002, hlm. 92). Pemakainya pun telah tersebar di banyak negara
di dunia, termasuk Indonesia.
Gagasan yang diilhami oleh pemikiran pascamodern ini pun mendapatkan
dukungan luas kalangan ekonom Islam. Imad-ad-Deen Ahmad, ekonom dari
Minaret of Freedom Institute, misalnya, menyatakan bahwa jalan ini perlu
diambil demi alasan moral sekaligus utilitarian. Ia menunjukkan bahwa
sistem moneter berdasar uang nyata (dinar dan dirham) telah terbukti
mampu menciptakan stabilitas makro yang berkelanjutan. Lebih dari 1.500
tahun dinar dan dirham tidak mengalami inflasi, tingkat kepercayaannya
sebagai mata uang pun telah teruji.
Emas dan perak sebagai alat tukar berbeda dengan uang kertas, tak akan
pernah kehilangan kepercayaan--meski andaikata pun kehilangan kegunaan
tukarnya--karena pada dirinya sendiri memiliki nilai komoditas. Lebih
dari itu, pemakaian uang nyata akan dan telah menciptakan sistem ekonomi
yang adil, karena memustahilkan lahirnya kapitalisme kasino--dengan
ciri utama spekulasi mata uang kertas yang hanya menguntungkan segelintir
orang.
Secara perlahan tapi pasti, pemakaian dinar dan dirham, sejak pertama
kali dicetak ulang di Granada, 1992, makin meluas. Berbagai hambatan
teknis, seperti kerepotan bertransaksi dengan uang nyata ini, telah
teratasi dengan sistem digital gold currency (E-dinar.com). Dalam bentuk
digital, dengan tetap didukung oleh logam emas yang disimpan di Dubai,
para pemegang account dinar di seluruh dunia dapat bertransaksi dengan
cepat, murah, mudah, dan aman.
Bukan saja untuk jumlah yang besar, tapi juga untuk satuan yang jauh
lebih kecil dari satu dinar--yang tidak mungkin dilakukan secara fisik
(nilai tukar per keping dinar saat ini adalah sekitar Rp 400 ribu, maka
secara fisik menjadi tidak praktis menggunakan dinar untuk membayar
barang dan jasa yang harganya jauh di bawah Rp 400 ribu). Dalam bentuk
digital satuan nilai transaksi dapat diperkecil sampai empat desimal.
Dinar dan dirham praktis telah menjadi "mata uang swasta" yang efektif,
meski masih dalam skala yang belum berarti.
Karena itu, bila Mahathir makin yakin dengan alternatif ini, dan menjadi
pelopor pemimpin formal suatu negara yang menerima dinar dan dirham,
maka terciptanya blok perdagangan Islam hanya tinggal waktu. Mata uang
emas dan dirham akan menjadi pemersatu sekaligus ujung tombak, legal
dan formal, blok Islam ini. Bila Malaysia menerima gagasan ini, apalagi
kemudian didukung oleh satu dua negara lain, misalnya Indonesia dan
Brunei, atau Uni Emirat Arab yang Bank Islamnya secara resmi telah menerimanya,
maka blok ini akan lebih cepat lagi memperoleh kekuatannya.
Juni, 2001, dalam Simposium Ekonomi Islam Sedunia, Al-Baraka, di Kuala
Lumpur, Mahathir telah menyatakan, "Pemakaian dinar akan secara efektif
menciptakan blok perdagangan Islam... dinar Islam internasional dapat
dicapai dan menjadi awal kerja sama yang lebih erat negara-negara muslim."
Sebuah implikasi strategis dapat dibayangkan. Umat Islam di dunia terdiri
atas lebih dari satu miliar orang, atau sekitar 20 persen penduduk dunia.
Sebagai sebuah blok ada komoditas strategis yang dapat menjadi kekuatan
bersama, yakni minyak. Bila dinar emas telah disepakati sebagai mata
uang blok Islam, dan semua negara Islam penghasil minyak sepakat meminta
pembayaran dengan dinar, maka uang emas ini dapat dipastikan akan segera
menandingi kekuatan dolar AS. Tak mustahil dinar akan muncul sebagai
standar baru mata uang dunia.
Tentu jalan menuju ke sana tidak semudah dan sesederhana ini. Namun,
dukungan terhadap upaya ini tampaknya akan terus meluas. Kombinasi pendekatan
kultural dan struktural, legal dan ilegal, formal dan informal, bahkan
rasional sekaligus emosional, yang memotori gerakan ini akan memberikan
energi yang tak habis-habisnya. Kecenderungan AS dan sekutunya dalam
memandang dan memperlakukan bangsa-bangsa muslim setelah peristiwa 11
September pun kiranya bakal memberikan pengaruh bagi gerakan ini. Secara
teknis, tahap demi tahap agenda pengembalian dinar dan dirham, baik
formal maupun informal, kultural maupun struktural pun, telah disiapkan
para pendukungnya dengan baik.
Andaikan Mahathir Mohamad, misalnya, mau menggantikan ringgit kertasnya
dengan dinar emas, maka tahap demi tahap masa transisinya secara teknis
dapat dilakukan. Bila tidak, maka umat Islamlah yang akan melakukannya
dan waktu yang akan menentukan berhasil tidaknya. Keping demi keping
dinar hari-hari ini terus dicetak dan makin luas diedarkan dan dipakai
di seluruh dunia, setahap demi setahap membangun blok perdagangan Islam.
Wallahu a'lam bish-shawab.