GDRG Home

THE GOLD DINAR RESEARCH GROUP

Universiti Sains Malaysia, Penang

About Us | Members | Activities | Articles | Photo Gallery | The Dinar | Zakat | Mahr | Dinar Trade Network| Bookshop | Links | Announcements | Contact Uss

 

Back to Other Articles

 

MENGGAGAS BLOK PERDAGANGAN ISLAM

by Zaim Saidi

Peneliti PIRAC, Jaringan Masyarakat Antiriba

(Koran Tempo)

 

Meski belum tampak, pemakaian euro sebagai mata uang regional Uni Eropa awal tahun ini tentu mempengaruhi konstelasi perdagangan internasional. Dengan tampilnya euro, maka poros kekuatan dagang saat ini setidaknya ada tiga, selain euro sendiri, dolar (AS), dan yen (Jepang). Satu hal yang agaknya pasti dalam konstelasi zero sum game yang berlangsung saat ini adalah satu blok utama lain di dunia ini akan tetap ketinggalan kereta: negara-negara miskin, terutama di Asia dan Afrika. Lebih khusus lagi, dalam porsi yang cukup besar, negara-negara Islam.

Dalam konteks ini sungguh menarik dicermati berkembangnya gagasan membangun blok perdagangan Islam. Lain dari upaya kerja sama konvensional di kalangan negeri-negeri Islam, yang tidak efektif dalam perimbangan perdagangan internasional, semacam Organisasi Konferensi Islam (OKI), gagasan membangun blok Islam di awal milenium ini dipelopori oleh jaringan lembaga pemerintah dan nonpemerintah. Modus operandinya pun menjadi unik, formal dan informal, legal dan ilegal, kultural sekaligus struktural. Maka, bila gerakan ini berhasil, pengaruhnya dalam konstelasi perdagangan dunia dapat diprediksi akan signifikan.

Berkecambahnya gagasan ini sendiri mendapatkan momentum dengan terjadinya krisis moneter di Asia empat tahun terakhir ini. Sebagaimana kita tahu, PM Malaysia Mahathir Mohamad mengambil jalan lain dari para pemimpin di Asia lainnya yang mengandalkan IMF (dan Bank Dunia) dengan resep liberalnya dalam mengatasi krismon. Tidak berhenti hanya sampai menetapkan kurs ringgit terhadap dolar AS dan menerapkan kontrol atas modal lainnya, Mahathir kini bergerak lebih jauh. Ia tampak menoleh pada gagasan membangun blok Islam, dengan fokus cukup jelas: mengimbangi kekuatan dolar AS.

Di sisi lain, di sepanjang dekade 1990-an kita menyaksikan kelahiran sebuah gerakan kultural di kalangan warga muslim yang mengupayakan kembalinya kejayaan (perdagangan) Islam. Salah satu pilar, simbol sekaligus substansi, yang direalisasikan oleh gerakan nonpemerintah ini adalah mengembalikan dan menerapkan sistem moneter berdasarkan uang nyata, koin emas dan perak, dalam bentuk mata uang dinar dan dirham. Saat ini gerakan tersebut telah sampai pada kenyataan, dengan mulai diterimanya dinar dan dirham di pasar valuta asing (baca: "Kembalinya Gerincing Dinar", Tempo, 27 Januari 2002, hlm. 92). Pemakainya pun telah tersebar di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.

Gagasan yang diilhami oleh pemikiran pascamodern ini pun mendapatkan dukungan luas kalangan ekonom Islam. Imad-ad-Deen Ahmad, ekonom dari Minaret of Freedom Institute, misalnya, menyatakan bahwa jalan ini perlu diambil demi alasan moral sekaligus utilitarian. Ia menunjukkan bahwa sistem moneter berdasar uang nyata (dinar dan dirham) telah terbukti mampu menciptakan stabilitas makro yang berkelanjutan. Lebih dari 1.500 tahun dinar dan dirham tidak mengalami inflasi, tingkat kepercayaannya sebagai mata uang pun telah teruji.

Emas dan perak sebagai alat tukar berbeda dengan uang kertas, tak akan pernah kehilangan kepercayaan--meski andaikata pun kehilangan kegunaan tukarnya--karena pada dirinya sendiri memiliki nilai komoditas. Lebih dari itu, pemakaian uang nyata akan dan telah menciptakan sistem ekonomi yang adil, karena memustahilkan lahirnya kapitalisme kasino--dengan ciri utama spekulasi mata uang kertas yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Secara perlahan tapi pasti, pemakaian dinar dan dirham, sejak pertama kali dicetak ulang di Granada, 1992, makin meluas. Berbagai hambatan teknis, seperti kerepotan bertransaksi dengan uang nyata ini, telah teratasi dengan sistem digital gold currency (E-dinar.com). Dalam bentuk digital, dengan tetap didukung oleh logam emas yang disimpan di Dubai, para pemegang account dinar di seluruh dunia dapat bertransaksi dengan cepat, murah, mudah, dan aman.

Bukan saja untuk jumlah yang besar, tapi juga untuk satuan yang jauh lebih kecil dari satu dinar--yang tidak mungkin dilakukan secara fisik (nilai tukar per keping dinar saat ini adalah sekitar Rp 400 ribu, maka secara fisik menjadi tidak praktis menggunakan dinar untuk membayar barang dan jasa yang harganya jauh di bawah Rp 400 ribu). Dalam bentuk digital satuan nilai transaksi dapat diperkecil sampai empat desimal. Dinar dan dirham praktis telah menjadi "mata uang swasta" yang efektif, meski masih dalam skala yang belum berarti.

Karena itu, bila Mahathir makin yakin dengan alternatif ini, dan menjadi pelopor pemimpin formal suatu negara yang menerima dinar dan dirham, maka terciptanya blok perdagangan Islam hanya tinggal waktu. Mata uang emas dan dirham akan menjadi pemersatu sekaligus ujung tombak, legal dan formal, blok Islam ini. Bila Malaysia menerima gagasan ini, apalagi kemudian didukung oleh satu dua negara lain, misalnya Indonesia dan Brunei, atau Uni Emirat Arab yang Bank Islamnya secara resmi telah menerimanya, maka blok ini akan lebih cepat lagi memperoleh kekuatannya.

Juni, 2001, dalam Simposium Ekonomi Islam Sedunia, Al-Baraka, di Kuala Lumpur, Mahathir telah menyatakan, "Pemakaian dinar akan secara efektif menciptakan blok perdagangan Islam... dinar Islam internasional dapat dicapai dan menjadi awal kerja sama yang lebih erat negara-negara muslim."

Sebuah implikasi strategis dapat dibayangkan. Umat Islam di dunia terdiri atas lebih dari satu miliar orang, atau sekitar 20 persen penduduk dunia. Sebagai sebuah blok ada komoditas strategis yang dapat menjadi kekuatan bersama, yakni minyak. Bila dinar emas telah disepakati sebagai mata uang blok Islam, dan semua negara Islam penghasil minyak sepakat meminta pembayaran dengan dinar, maka uang emas ini dapat dipastikan akan segera menandingi kekuatan dolar AS. Tak mustahil dinar akan muncul sebagai standar baru mata uang dunia.

Tentu jalan menuju ke sana tidak semudah dan sesederhana ini. Namun, dukungan terhadap upaya ini tampaknya akan terus meluas. Kombinasi pendekatan kultural dan struktural, legal dan ilegal, formal dan informal, bahkan rasional sekaligus emosional, yang memotori gerakan ini akan memberikan energi yang tak habis-habisnya. Kecenderungan AS dan sekutunya dalam memandang dan memperlakukan bangsa-bangsa muslim setelah peristiwa 11 September pun kiranya bakal memberikan pengaruh bagi gerakan ini. Secara teknis, tahap demi tahap agenda pengembalian dinar dan dirham, baik formal maupun informal, kultural maupun struktural pun, telah disiapkan para pendukungnya dengan baik.

Andaikan Mahathir Mohamad, misalnya, mau menggantikan ringgit kertasnya dengan dinar emas, maka tahap demi tahap masa transisinya secara teknis dapat dilakukan. Bila tidak, maka umat Islamlah yang akan melakukannya dan waktu yang akan menentukan berhasil tidaknya. Keping demi keping dinar hari-hari ini terus dicetak dan makin luas diedarkan dan dipakai di seluruh dunia, setahap demi setahap membangun blok perdagangan Islam. Wallahu a'lam bish-shawab.

 

Last Updated: 06/11/02 ©NorizanEsa2002

 

Gold Dinar Research Group